Total Tayangan Halaman

Minggu, 03 April 2011

SLE (Sistemisc lupus erythematosus)


REFERENSI I

 

TINJAUAN TEORI

A.    Pengertian

SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

B.     Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

C. Manifestasi Klinis

1.      Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2.      Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3.      Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4.      Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5.      Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6.      Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7.      Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

D.    Evaluasi Diagnostik

Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis.
Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.

E. Penatalaksanaan Medis

1.      Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.                                                                                                         
2.      Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3.      Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.



ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian

1.      Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.

2.      Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

3.      Kardiovaskuler

Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.

4.      Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

5.      Sistem integumen

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

6.      Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

7.      Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

8.      Sistem Renal

Edema dan hematuria.

9.      Sistem saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

B.     Masalah Keperawatan

1.      Nyeri

2.      Keletihan

3.      Gangguan integritas kulit

4.      Kerusakan mobilitas fisik

5.      Gangguan citra tubuh

C.    Intervensi

1.      Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :

a.       Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)

b.       Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.

c.       Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.

d.      Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.

e.       Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

f.        Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

g.       Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.


2.      Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.

Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :

a.    Beri penjelasan tentang keletihan :

·        hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan

·        menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya

·        mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)

·        menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional

·        menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga

·        kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.

b.   Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.

c.    Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.

d.   Rujuk dan dorong program kondisioning.

e.    Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.

3.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.

Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :

a.       Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.

b.       Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :

·        Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
·        Meningkatkan pemakaian alat bantu
·        Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
·        Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.

c.       Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.

d.      Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.

·        Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
·        Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
·        Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi

4.      Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.

Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan enyakit.
Intervensi :
a.       Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b.       Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
·        Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
·        Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
·        Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

5.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.

Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a.       Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b.       Hilangkan kelembaban dari kulit
c.       Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
d.      Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e.       Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.



REFERENSI II

lupus eritematosus sistemik (SLE)

lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah kronis gangguan autoimun . SLE dapat mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, dan organ lainnya.

Penyebab

SLE (lupus) adalah penyakit autoimun. Ini berarti ada masalah dengan respon sistem normal kekebalan tubuh.
Biasanya, sistem kekebalan tubuh membantu melindungi tubuh dari zat berbahaya. Tapi pada pasien dengan penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh tidak bisa mengatakan perbedaan antara zat berbahaya dan yang sehat. Hasilnya adalah respon imun yang terlalu aktif yang menyerang sel sehat dan jaringan. Hal ini menyebabkan jangka panjang (kronis) peradangan.
Penyebab penyakit autoimun tidak sepenuhnya diketahui.
SLE mungkin ringan atau cukup berat sehingga menyebabkan kematian.
SLE mempengaruhi sembilan kali lebih banyak wanita laki-laki. Hal itu dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering muncul pada orang berusia antara 10 dan 50. Afrika Amerika dan Asia yang terkena lebih sering daripada orang dari ras lain.
SLE juga bisa disebabkan oleh obat-obatan tertentu. Untuk informasi tentang ini penyebab SLE, lihat obat-induced lupus eritematosus.

Gejala

Gejala bervariasi dari orang ke orang, dan dapat datang dan pergi. Kondisi ini dapat mempengaruhi satu organ atau sistem tubuh pertama. Lain mungkin terlibat kemudian.
Hampir semua orang dengan SLE mempunyai nyeri sendi dan bengkak. Beberapa mengembangkan arthritis .Sering terkena adalah sendi jari-jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut.
Gejala umum lainnya termasuk:
  • Nyeri dada saat mengambil napas dalam-dalam
  • Kelelahan
  • Demam tanpa penyebab lain
  • Umum ketidaknyamanan, kegelisahan, atau perasaan sakit (malaise)
  • Rambut rontok
  • Mulut luka
  • Sensitivitas terhadap sinar matahari
  • ruam Kulit - sebuah "kupu-kupu" ruam atas pipi dan jembatan hidung mempengaruhi sekitar setengah dari orang dengan SLE. Ruam semakin memburuk di sinar matahari. Ruam juga dapat meluas.
  • Pembengkakan kelenjar getah bening
Gejala lain tergantung pada apa bagian tubuh yang terkena:
  • Otak dan sistem saraf:
    • Sakit kepala
    • Penurunan ringan kognitif
    • Mati rasa, kesemutan, atau nyeri di lengan atau kaki
    • Kepribadian perubahan
    • Kegilaan
    • Risiko stroke
    • Kejang
    • Visi permasalahan
  • Saluran pencernaan: nyeri perut, mual, dan muntah
  • Jantung: irama jantung abnormal ( aritmia )
  • Ginjal: darah dalam urin
  • Paru-paru: batuk darah dan kesulitan bernafas
  • Kulit: warna kulit merata, jari-jari yang berubah warna saat dingin ( fenomena Raynaud's )

Ujian dan Tes

Diagnosis SLE didasarkan pada adanya paling tidak 4 dari 11 ciri khas dari penyakit. Dokter akan mendengarkan dada Anda dengan stetoskop. Sebuah suara disebut gesekan jantung menggosok atau menggosok gesekan pleura dapat didengar. Sebuah ujian neurologis juga akan dilakukan.
Tes digunakan untuk mendiagnosa SLE bisa meliputi:
Penyakit ini juga dapat mengubah hasil tes berikut:

Pengobatan

Tidak ada obat untuk SLE. Pengobatan ditujukan untuk mengontrol gejala. gejala individual Anda menentukan pengobatan Anda.
Penyakit ringan yang melibatkan ruam, sakit kepala, demam, artritis, radang selaput dada, dan perikarditis tidak memerlukan terapi banyak.
  • obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAIDs) digunakan untuk mengobati rematik dan radang selaput dada.
  • Krim kortikosteroid digunakan untuk mengobati ruam kulit.
  • Obat antimalaria (hydroxychloroquine) dan kortikosteroid dosis rendah kadang-kadang digunakan untuk gejala kulit dan artritis.
Anda harus memakai pakaian pelindung, kacamata hitam, dan tabir surya ketika di bawah sinar matahari.
Berat atau gejala yang mengancam kehidupan (seperti anemia hemolitik , jantung yang luas atau keterlibatan paru-paru, penyakit ginjal , atau sistem saraf pusat keterlibatan) seringkali membutuhkan pengobatan oleh rheumatologist dan spesialis lainnya.
  • Kortikosteroid atau obat untuk mengurangi respon sistem kekebalan tubuh mungkin diresepkan untuk mengontrol berbagai gejala.
  • obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) digunakan untuk mengobati orang yang tidak merespon dengan baik terhadap kortikosteroid, atau yang tidak dapat berhenti mengkonsumsi kortikosteroid tanpa gejala mereka semakin buruk.

Dukungan Groups

Untuk informasi tambahan dan dukungan, lihat sumber daya lupus .

Outlook (Prognosis)

Hasil untuk orang-orang dengan SLE telah membaik dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang dengan SLE memiliki penyakit ringan. Wanita dengan SLE yang hamil seringkali mampu membawa aman untuk panjang dan melahirkan bayi yang normal, selama mereka tidak memiliki ginjal yang parah atau penyakit jantung dan SLE sedang diobati dengan tepat.
Kehadiran antibodi antifosfolipid dapat meningkatkan kemungkinan keguguran.
Tingkat kelangsungan hidup 10-tahun untuk pasien lupus lebih besar dari 85%. Orang dengan keterlibatan parah otak, paru-paru, jantung, dan ginjal lebih buruk daripada yang lain dalam hal kelangsungan hidup secara keseluruhan dan cacat.

Kemungkinan Komplikasi

Beberapa orang dengan SLE memiliki simpanan antibodi dalam sel (glomeruli) dari ginjal. Hal ini menyebabkan kondisi yang disebut nefritis lupus . Pasien dengan kondisi ini akhirnya dapat mengembangkan gagal ginjal dan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.
SLE menyebabkan kerusakan pada bagian yang berbeda dari tubuh, termasuk:

Kapan Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda mengembangkan gejala SLE. Juga, panggilan jika Anda memiliki SLE dan gejala menjadi lebih buruk atau jika gejala baru berkembang.

Nama Alternatif

Disebarluaskan lupus eritematosus; SLE, Lupus, Lupus eritematosus

Referensi

Ruiz-Irastorza G, Ramos-Casals M, Brito-Zeron P Khamashta, MA. Klinis kemanjuran dan efek samping anti-malaria dalam lupus eritematosus sistemik: review sistematis. Ann selesma Dis . 2010; 69:20-28.
Hahn BH, BP Tsao. Patogenesis dari lupus eritematosus sistemik. Dalam: GS, Budd RC, Harris, Jr DE et al. Firestein, eds. 's Textbook of Rheumatology Kelley . 8 ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2008: chap 74.


Minggu, 13 Maret 2011

KARSINOMA NASOFARING


1. Pengertian

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa (Efiaty, 2001).
Tumor ganas nasofaring (karsinoma nasofaring) adalah sejenis kanker yang dapat menyerang dan membahayakan jaringan yang sehat dan bagian-bagian organ di tubuh kita. Nasofaring mengandung beberapa tipe jaringan, dan setiap jaringan mengandung beberapa tipe sel. Dan kanker ini dapat berkembang pada tipe sel yang berbeda. Dengan mengetahui tipe yang sel yang berbeda merupakan hal yang penting karena hal tersebut dapat menentukan tingkat seriusnya jenis kanker dan tipe terapi yang akan digunakan (American Cancer Society dalam Cancer.Net, 2008).

2. Etiologi

Karsinoma nasofaring disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Berikut ini dipaparkan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya karsinoma nasofaring:
• Epstein-Barr Virus (EBV),
• Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring.
• Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
• Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu :
• Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
• Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
• Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti : benzopyrenen , benzoanthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu
• Ras dan keturunan, tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain.
• Radang kronis daerah nasofaring
• Penggunaan tembakau, adalah salah satu faktor risiko terbesar kanker pada kepala dan leher, 85% kanker kepala dan leher disebabkan oleh factor ini.
• Alcohol, konsumsi yang sering dan tinggi adalah faktor risiko kanker pada kepala dan leher.
• Jenis Kelamin, laki-laki 2 kali lebih berpotensi menderita penyakit ini dibandingkan wanita.
• Usia, karsinoma nasofaring lebih sering menyerang seseorang yang berusia diatas 30 tahun.

3. Patofisiologi 


Terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring.
Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam Rusdiana (2006) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer.
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini . Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring.
Terdapat 5 stadium pada karsinoma nasofaring yaitu:
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa disebut nasopharynx in situ
2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke rongga hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher.
4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher
5. Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.
Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen dapat mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.

4. Manifestasi Klinis

Pengetahuan tentang gejala klinis dari karsinoma nasofaring dan perluasannya, sangat diperlukan untuk memudahkan dalam pembuatan suatu diagnosis. Gejala ditentukan oleh hubungan anatomik antara nasofaring dengan organ sekitarnya. Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain :
1. Gejala nasofaring: Epistaksis, Sumbatan hidung
Gangguan pada telinga: Kataralis/oklusi tuba eustachius, Otitis media serosa dan dapat berlanjut sampai terjadi perforasi dan gangguan pendengaran.
2. Gangguan neurologi
Karsinoma nasofaring telah diketahui dapat menyebabkan berbagai lesi neurologis khususnya kelumpuhan saraf kranial.
3. Metastasis ke kelenjar getah bening leher
Tumor pada nasofaring relatif bersifat anaplastikdan banyak terdapat kelenjar limfe, maka karsinoma nasofaring dapat menyebar ke kelenjar getah bening leher. Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai ke kelenjar limfe leher dan tertahan di sana dan karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung ke bagian tubuh yang lebih jauh.

5. Komplikasi


Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.

5. Pemeriksaan Diagnostik


Ada beberapa tes diagnostik yang dapat dilakukan, meliputi (Efiaty & Nurbaiti, 2001):
1. Nasofaringoskopi
Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
2. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
3. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B.
4. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
Ada beberapa pemeriksaan diagnostic lainnya yang dipaparkan dalam Cancer. Net (2008) antara lain:
1. Magnetic resonance imaging (MRI), menghasilkan secara detail gambaran tubuh, khususnya jaringan lunak. MRI sensitivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan CT Scan dalam mendeteksi tumor nasofaring dan kemungkinan penyebarannya yang menyusup ke jaringan atau nodus limfe
2. Bone scan. Prosedur ini menggunakan material radioaktif yang sangat kecil untuk menentukan apakah kanker telah menyebar sampai ke tulang. Alat ini menggambarkan bila tulan sehat maka pada kamera akan tampak berwarna abu-abu, dan bila ada kanker akan tampak gelap.
3. Neurologic tests. Tes ini untuk mengetahui fungsi nervus, khususnya sensasi taktil wajah dan fungsi gerak pada nervus tertentu di area leher dan kepala.
4. Hearing test. Tes ini dilakukan bila diduga ada cairan pada telinga tengah.
5. Positron emission tomography (PET) scan. A PET scan adalah alat yang digunakan untuk menciptakan tampilan gambaran organ dan jaringan dalam tubuh. Substansi radioaktif yang berukuran kecil diinjeksikan ke dalam tubuh pasien dan akan terdeteksi oleh sebuah scanner, yang akan menghasilkan gambar.
6. Pelatalaksanaan Medis
• Radioterapi merupakan pengobatan utama
• Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
• Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat “RADIOSENSITIZER”.

7. Pencegahan

Meskipun beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring tidak dapat dikontrol, ada beberapa yang dapat dihindari dengan melalkukan perubahan gaya hidup. Menghentikan penggunaan rokok, karena hal ini adalah hal yang sangat penting untuk mengurangi risiko karsinoma nasofaring.
Selain itu pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah risiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini.
Source:
  • Adams, G. L., 1997, Boeis: Buku Ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta.
  • Arina, C. A., 2006, Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring, USU Digital Library, diakses pada 19 September 2008, http://library.usu.ac.id/download/fk/D0400193.pdf.
  • Asroel, H. A., 2002, Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring, USU Digital Library, diakses pada 19 September 2008, http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf.
  • Cancer.Net, 2008, Nasopharyngeal Cancer, diakses pada 06 September 2008, Cancer.net guide to Nasopharyngeal Cancer, www.cancer.net/patient/Cancer+Types/ Nasopharyngeal+Cancer.
  • Care with “Love”, 2008, Laporan Pendahuluan
  • Askep Pada Klien Dengan Ca Nasofaring, diakses pada 15 September 2008, http://keperawatan-gun.blogspot.com/2008/02/ca-nasofaring.htm.
  • Doenges, Moorhouse, & Geissler., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
  • Efiaty, Nurbaety, dkk., 2007, Buku Ajar Penyakit THT, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
  • Handikin, L. S., 2008, Combined Treatment For Advanced Nasopharyngeal Cancer, Cahaya Masa depan, diakses pada 6 Oktober 2008, http://cahayamasadepan.blogspot.com/2008/09/combined-treatment-for-advanced.htm.
  • Karis, 2007, Asuhan Keperawatan Kanker Naso Faring, Berbisnis Dengan Hati, diakses pada 01 September 2008, http://www.karisyogya.blog.m3-access.com/posts/38782_ASUHAN-KEPERAWATAN-KANKER-NASO-FARING.html.
  • Rusdiana, Munir, D., & Syregar Y., 2006, Hubungan Antibodi Anti Epstein Barr Virus dengan Karsinoma Nasofaring pada Pasien Etnis Batak di Medan. USU Digital Library, diakses pada 21 September 2008, http://library.usu.ac.id/download/fk/rusdiana.pdf.