Total Tayangan Halaman
Rabu, 14 Desember 2011
Rabu, 20 April 2011
Spinal Cord Injury (SCI)
BAB I
PENDAHULUAN
CCS merupakan salah satu tipe dari Spinal Cord Injury (SCI). SCI dapat terjadi akibat berbagai proses patologis termasuk trauma. Apapun penyebabnya, SCI dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik maupun autonom yang signifikan.
Trauma pada medula spinalis (termasuk di dalamnya CCS) menyebabkan timbulnya gejala klinis akibat respon terhadap injuri baik respon segera maupun respon lambat. Gejala klinis awal muncul sebagai akibat traksi dan kompresi pada medula spinalis, baik oleh tonjolan/fragmen tulang, herniasi diskus vertebralis maupun ligamen. Kerusakan vaskular dapat menimbulkan iskemia yang dapat memperparah injuri pada medula spinalis. Selain itu dapat terjadi ruptur akson dan membran sel saraf. Perdarahan mikro terjadi dalam beberapa menit setelah injuri di area gray matter dan dapat berkembang menjadi perdarahan masif dalam beberapa jam. Akhirnya terjadi hilangnya autoregulasi dan spinal shock yang mengakibatkan hipotensi sistemik dan memperparah iskemia pada jaringan otak. Iskemia, penumpukan produk meabolik yang toksik (misalnya penumpukan glutamate, penumpukan asam laktat yang terbentuk dari metabolisme anaerob akibat iskemia) serta perubahan elektrolit menyebabkan timbulnya respon lambat pada SCI.
Selain CCS, manifestasi lain dari SCI adalah complete spinal cord transection syndrome, anterior cord syndrome, Brown-Sequard Syndrome, dan cauda equina syndrome.
Central Cord Syndrome (CCS) adalah suatu kumpulan gejala akibat adanya cedera pada segmen servikal medula spinalis. Sindroma ini ditandai oleh adanya kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah disertai oleh gangguan sensori dan berkemih. CCS sering terjadi pada orang tua, namun dapat juga terjadi pada golongan usia dewasa muda. Seperti tipe-tipe SCI yang lain, sebagian besar kasus CCS terjadi akibat trauma. Meskipun beberapa fungsi tubuh yang terganggu pada CCS dapat kembali normal setelah beberapa waktu, namun penanganan dan pengobatan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah kecacatan menetap pada pasien. Dengan demikian, selain pilihan terapi medika mentosa dan pembedahan, fisioterapi adalah modalitas terapi yang juga penting dalam penanganan CCS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fungsi Medula Spinalis
Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak dalam kanalis vertebralis. Medula spinalis dikelilingi oleh struktur-struktur yang secara berurutan dari luar ke dalam terdiri atas:
- dinding kanalis vertebralis yang terdiri atas tulang vertebrae dan ligamen
- lapisan jaringan lemak ekstradural yang mengandung anyaman pembuluh darah vena
- meninges, yang terdiri atas:
- dura mater (pachymeninx)
- arachnoid (leptomeninx) yang menempel secara langsung pada dura mater, sehingga di antara kedua lapisan ini dalam keadaan normal tidak dijumpai suatu ruangan
- ruangan subarachnoid yang di dalamnya terdapat cairan serebrospnal (CSF)
- pia mater, yang menempel langsung pada bagian luar medula spinalis.
Pada tubuh orang dewasa panjang medula spinalis adalah sekitar 43cm. Pada masa tiga bulan perkembangan intrauterin, panjang medula pinalis sama dengan panjang korpus vertebrae. Pada masa perkembangan berikutnya, kecepatan pertumbuhan korpus vertebrae melebihi kecepatan pertumbuhan medula spinalis. Akibatnya pada masa dewasa, ujung kaudal medula spinalis terletak setinggi tepi kranial korpus vertebrae lumbal II atau intervertebral disk I/II. Perbedaan panjang medula spinalis dan korpus vertebrae ini mengakibatkan terbentuknya konus medularis (bagian paling kaudal dari medula spinalis yang berbentuk kerucut dan terutama terdiri atas segmen-segmen sakral medula spinalis) dan cauda equina (kumpulan radiks nervus lumbalis bagian kaudal dan radiks nervus sakralis yang mengapung dalam CSF). Ke arah kaudal, ruangan subarachnoid berakhir setinggi segmen sakral II atau III korpus vertebrae. Dengan demikian, di antara korpus vertebrae lumbal II sampai korpus vertebrae sakral III tidak lagi terdapat medula spinalis, melainkan hanya terdapat cauda equina yang terapung-apung di dalam CSF. Hal ini memungkinkan tindakan punksi lumbal di daerah intervertebral disk III/IV atau IV/V tanpa mencederai medula spinalis.
Seperti halnya korpus vertebrae, medula spinalis juga terbagi ke dalam beberapa segmen, yaitu: cervikal (C1-C8), segmen torakal (T1-T12), segmen lumbal (L1-L5), segmen sakral (S1-S5) dan 1 segmen koksigeal yang vestigial. Serabut saraf yang kembali ke medula spinalis diberi nama sesuai lokasi masuk/keluarnya dari kanalis vertebralis pada korpus vertebrae yang bersangkutan. Saraf dari C1-C7 berjalan di sebelah atas korpus vertebrae yang bersangkutan, sedangkan dari saraf C8 ke bawah berjalan di sebelah bawah korpus vertebrae yang bersangkutan.
Diameter bilateral medula spinalis selalu lebih panjang dibandingkan diameter ventrodorsal. Hal ini terutama terdapat pada segmen medula spinalis yang melayani ekstremitas atas dan bawah. Pelebaran ke arah bilateral ini disebut intumesens, yang terdapat pada segmen C4-T1 (intumesens cervikalis) dan segmen L2-S3 (intumesens lumbosakral). Pada permukaan medula spinalis dapat dijumpai fisura mediana ventalis, dan empat buah sulkus, yaitu sulkus medianus dorsalis, sulkus dorsolateralis, sulkus intermediodorsalis dan sulkus ventrolateralis.
Pada penampang transversal medula spinalis, dapat dijumpai bagian sentral yang berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan gray matter. Gray matter adalah suatu area yang berbentuk seperti kupu-kupu atau huruf H. Area ini mengandung badan sel neuron beserta percabangan dendritnya. Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta banyak mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area ini berwarna lebih gelap. Gray matter dapat dibagi ke dalam 10 lamina atau 4 bagian, yaitu:
- kornu anterior/dorsalis, yang mengandung serat saraf motorik, terdiri atas lamina VIII, IX dan bagian dari lamina VII
- kornu posterior/ventralis, yang membawa serat-serat saraf sensorik, terdiri atas lamina I-IV
- kornu intermedium, yang membawa serat-serat saraf asosiasi, terdiri atas lamina VII
- kornu lateral, merupakan bagian dari kornu intermedium yang terdapat pada segmen torakal dan lumbal yang membawa serat saraf simpatis.
Di bagian perifer medula spinalis, tampak suatu area yang mengelilingi grey matter yang tampak lebih cerah dan dikenal dengan white matter. White matter terdiri atas serat-serat saraf yang berselubung myelin dan berjalan dengan arah longitudinal.
|
|
Gambar 3. Penampang melintang medula spinalis
Pada penampang melintang, white matter dibagi ke dalam beberapa daerah topografik, anatara lain: funikulus dorsalis, funikulus lateralis, funikulus ventralis dan komisura alba. Funikulus adalah suatu kumpulan berkas fungsional yang disebut traktus. Serat-serat yang membentuk traktus dalam white matter berasal dari sel-sel ganglion, sel saraf dalam gray matter dan sel saraf dalam korteks serebri atau pusat fungsional lainnya dalam batang otak atau cerebrum.
Berdasarkan arah aliran impulsnya, traktus dalam medula spinalis antara lain:
- Traktus Ascenden yang membawa impuls ke arah kranial atau ke pusat-pusat fungsional yang lebih tinggi
- Traktus Descenden yang membawa impuls dari pusat-pusat fungsional yang lebih tinggi ke medula spinalis
- Traktus intersegmentalis, yang mengantarkan impuls dalam dua arah.
Dalam CCS, traktus spinothalamic dan traktus corticospinal dianggap paling berperan dalam patofisiologi penyakit. Traktus spinothalamic adalah traktus ascenden yang terbagi menjadi dua, yaitu:
- Traktus Spinothalamic Lateralis
Dalam medula spinalis, serat-serat yang membentuk traktus spinothalamic lateralis ini menunjukkan susunan somatotopik, yaitu serat-serat yang berasal dari segmen sakral terletak paling dorsolateral selanjutnya disusul oleh serat dari segmen lumbal dan torakal dan terakhir serat pada segmen servikal terletak paling ventromedial.
Traktus ini membawa serat sensori rasa-rasa nyeri dan suhu (analgesi dan thermoanasthesi) dari sisi tubuh yang kontralateral. Selain itu, traktus ini juga mengantarkan impuls yang berhubungan dengan rasa penuh pada kandung kemih, keinginan untuk miksi, rasa nyeri pada kandung kemih, urethra dan ureter.
- Traktus Spinothalamic Ventralis
Adalah traktus yang mengantarkan impuls-impuls rasa raba ringan atau kasar dan umum, yang tidak menunjukkan aspek diskriminatif spasial, misalnya dapat ditimbulkan dengan mengelus seara ringan di kulit yang tidak berambut dengan bulu atau kapas. Pemeriksaan rasa raba kasar tidak memiliki arti yang begitu penting dalamk linik.
Traktus corticospinal adalah traktus descenden yang mengantarkan impuls-impuls motorik yang berhubungan dengan pergerakan yang ada di bawah pengendalian kemauan, terutama pada bagian distal ekstremitas.
2.2 Central Cord Syndrome (CCS)
CCS adalah salah satu tipe acute cervical spinal cord injury (SCI) yang terjadi akibat injuri inkomplit pada medula spinalis segmen servikal dan ditandai oleh kelemahan motorik yang lebih parah pada ekstremitas atas dibandingkan pada ekstremias bawah, disfungsi kandung kemih dan gangguan sensori yang bervariasi di bawah level lesi.
CCS lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Meskipun lebih sering terjadi pada orang tua dengan cervical spondylosis yang mengalami injuri hiperekstensi, kelainan ini dapat terjadi pada berbagai usia dan secara umum memiliki distribusi bimodal, yaitu insiden yang tinggi pada dewasa muda akibat trauma dan insiden yang tinggi pada usia tua akibat spondylosis.
2.2.1 Patofisiologi
CCS terjadi akibat injuri inkomplit pada bagian sentral segmen servikal medula spinalis, paling sering pada segmen sevikal bagian tengah hingga bagian bawah. Kasus CCS di masyarakat sering terjadi melalui mekanisme injuri hiperekstensi pada penderita spndylosis servikal. Injuri tersebut terjadi akibat trauma yang mengakibatkan pendesakan ligamentum flavum (ligamen kuat yang saling menghubungkan lamina vertebrae, yang berfungsi untuk melindungi saraf dan medula spinalis dan menstabilisasi spina sehingga tidak terjadi pergerakan yang berlebihan pada vertebrae) yang akhirnya menjepit medula spinalis dari posterior dan/atau akibat kompresi oleh osteofit dari anterior.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kerusakan medula spinalis kemungkinan terjadi akibat kontusio pada medula spinalis. Kontusio ini terjadi karena medula spinalis terapung dalam CSF, jika terjadi goncangan misalnya akibat terjatuh maka akan terjadi osilasi yang jika tidak teratur dapat mengakibatkan benturan medula spinalis ke vertebrae. Akibatnya terjadi stasis aliran aksoplasma, sehingga lebih cenderung terjadi injuri yang edematous daripada hematomyelia destruktif.
Penelitian yang lebih mutakhir menemukan bahwa CCS mungkin terjadi akibat perdarahan ke bagian sentral medula spinalis. Selain itu, CCS juga kemungkinan terjadi akibat disrupsi akson di kornu lateral pada level injuri namun tidak mengakibatkan kerusakan signifikan pada gray matter.
CCS juga dapat terladi akibat fraktur dislokasi dan fraktur kompresi, khususnya pada individu yang telah mengalami penyempitan kanalis spinalis secara kongenital. Tekanan kompresi yang arahnya anteroposterior ini mengakibatkan kerusakan yang lebih parah di daerah sentral.
Mekanisme injuri di atas mengakibatkan kerusakan yang paling parah pada bagian sentral medula spinalis dan kerusakan yang lebih ringan pada bagian perifer dari medula spinalis. Injuri pada area ini mengakibatkan krusakan pada traktus spinothalamic lateralis dan traktus corticospinalis.
Gangguan motorik maupun sensorik pada CCS terjadi akibat pola laminasi traktus corticospinal dan traktus spinothalamic yang khas pada medula spinalis. Traktus spinothalamic lateralis memiliki susunan laminasi dengan pola somatotopik, dimana serat-serat yang berasal dari segmen sakral terletak paling dorsolateral selanjutnya disusul oleh serat dari segmen lumbal dan torakal dan terakhir serat pada segmen servikal terletak paling ventromedial. Karena CCS disebabkan oleh injuri pada bagian sentral, maka serat-serat dari bagian servikal yang mengalami injuri parah sedangkan serat-serat dari bagian sakral tidak mengalami injuri. Kerusakan inkomplit pada traktus ini mengakibatkan hilangnya kemampuan sensorik hingga batas-batas tertentu dalam hal pengantaran impuls rasa nyeri dan suhu. Selain itu, kerusakan pada traktus ini dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan motorik yang berhubungan dengan rasa penuh pada kandung kemih, keinginan untuk miksi, rasa nyeri pada kandung kemih, urethra dan ureter, sehingga pada CCS terjadi disfungsi kandung kemih.
Kerusakan traktus corticospinalis dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan untuk mengadakan pergerakan di bawah kemauan terutama pada bagian distal ekstremitas baik atas maupun bawah. Karena tipe laminasi traktus corticospinal dimana serat-serat yang melayani tangan terletak lebih medial daripada serat-serat yang melayani kaki, maka injuri inkomplit di sentral segmen servikal medula spinalis akan mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas atas yang lebih parah daripada ekstremitas bawah. Sendi-sendi yang terletak di sebelah proksimal maupun gerakan-gerakan yang bersifat kasar bisanya tidak terlalu terpengaruh. Jika terjadi injuri yang mengakibatkan perdarahan atau trombosis (seperti pada CCS) yang mengenai traktus ini, maka pada awalnya akan tampak hilangnya tonus pada otot-otot yang bersangkutan. Setelah beberapa hari atau minggu, tonus pada otot akan kembali secara berangsur-angsur hingga pada akhirnya justru dapat terjadi spastisitas. Jika kerusakan serat upper motor neuron yang melayani ekstremitas bawah cukup berat, refleks babinsky akan positif.
2.2.3 Etiologi CCS
Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan CCS antara lain:
- Trauma, merupakan penyebab CCS yang paling sering
- Pada orang tua, cervical spondylosis merupakan faktor resiko yang signifikan
- Pada individu yang mengalami penyempitan kanalis spinalis, trauma minor sudah dapat mengakibatkan manifestasi CCS
- Pada kelompok usia yang lebih muda, trauma mayor dengan insiden fraktur servikal yang tinggi mengakibatkan seringnya terjadi CCS pada usia ini.
2.2.4 Diagnosis
1. Anamnesa
- Pasien dengan CCS biasanya datang dengan keluhan berupa kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah disertai hilangnya kemampuan sensoris dalam derajat yang bervariasi di bawah level injuri.
- Pasien juga biasanya akan mengeluhkan hilangnya sensasi nyeri dan temperatur, sensasi sentuhan ringan dan kehilangan kemampuan untuk mengetahui posisi tubuh (proprioseptif) di bawah level injuri.
- Dapat timbul keluhan nyeri pada leher dan kesulitan BAK
- Gejala CCS biasanya didahului oleh riwayat trauma di daerah leher, paling sering akibat terjatuh.
2. Pemeriksaan Fisik
- Penemuan dari pemeriksaan fisik biasanya terbatas pada kelainan pada sistem neurologis, yang terdiri atas gabungan lesi pada upper motor neuron dan lower motor neuron yang mensuplai ekstremitas atas yang mengakibatkan paralisis flaksid parsial, dan lesi yang lebih dominan pada upper motor neuron yang mensuplai ekstremitas bawah yang mengakibatkan paralisis spastik.
- Kelainan pada ekstremitas atas biasanya akan lebih parah daripada kelainan pada ekstremitas bawah, dan terutama terjadi pada otot-otot tangan bagian distal.
- Kehilangan kemampuan sensori hingga derajat tertentu, meskipun sensasi sakral biasanya masih utuh. Kemampuan kontraksi anus dan tonus sfingter serta refleks babinsky harus diperiksa.
- Refleks regang otot biasanya hilang pada awalnya tapi dapat kembali muncul namun disertai oleh spatisitas otot yang bersangkutan.
3. Pemeriksaan Penunjang
- Pemerksaan Laboratorium
Tidak ada tes laboratorium spesifik yang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosa CCS
- Pemeriksaan Radiologi
- X-ray cervical spine; menunjukkan gambaran fraktur maupun dislokasi dan derajat spondilitik pada korpus vertebrae cervikal. Foto pada posisi leher ekstensi dan fleksi dapat membantu mengevaluasi stabilitas ligamentum flavum.
- CT Scan pada cervical spine; menunjukkan adanya gangguan pada kanalis spinalis dan dapat memberikan informasi mengenai deajat penekanan yang terjadi pada medula spinalis.
- MRI; dapat menunjukkan secara langsung tekanan/jepitan pada medula spinalis oleh tulang, vertebral disc atau hematoma.
2.2.5 Penatalaksanaan
Pasien CCS sebaiknya diberikan imobilisasi leher untuk mencegah penekanan/injuri medula spinalis lebih lanjut. Selain itu pengobatan, pembedahan dan rehabilitasi juga dapat dilakukan sesuai indikasi.
1. Medikamentosa
Obat yang diberikan pada pasien CCS adalah golongan kortikosteroid, yaitu methylprednisolone (Medrol, Solu-medrol).
- Mekanisme Kerja: Methylprednisolone menurunkan respon inflamasi dengan menekan migrasi polymorphonuclear leukocytes dan menghambat peningkatan permeabilitas vaskular.
- Dosis: 30mg/kgBB IV dalam 15 menit pertama diikuti dalam 45 menit berikutnya dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam
- Kontraindikasi: Orang dengan hipersensitivitas, infeksi fungal, viral maupun micobacterium.
- Interaksi: (1) bila diberikan bersama-sama dengan digoxin dapat meningkatkan toksisitas digitalis sekunder akibat hipokalemia, (2) Estrogen dapat meningkatkan level obat, (3) phenobarbital, phenytoin dan rifampin dapat menurunkan level obat, (4) jika diberikan bersamaan dengan diuretik, pasien harus dimonitor untuk hypokalemia.
- Efek samping: Hiperglikemia, demam, osteonekrosis, ulkus peptikum, hipokalemia, euphoria, osteoporosis, psikosis, gangguan pertumbuhan, myopati, infeksi
2. Bedah
Pembedahan jarang dibutuhkan karena prognosis pasien dengan medikamentosa biasanya baik. Indikasi pembedahan meliputi:
- Jika masih terdapat kelemahan motorik yang signifikan setelah suatu periode perbaikan
- Jika penekanan/kompresi pada medula spinalis menetap
- Jika terdapat instabilitas spinal
- Jika kelainan neurologis semakin parah
Pasien dengan kompresi sekunder dari herniasi diskus akibat trauma harus segera didekompresi. Pasien yang mengalami CCS akibat osteophyte, penebalan/ruptur ligamentum flavum ataupun stenosis tidak memerlukan operasi segera dan ditunggu hingga keadaan pasien membaik.
3. Rehabilitasi
1. Terapi fisik
Tujuan dari terapi fisik adalah pemulihan Range of Motion (ROM) dan meningkatkan kemampuan mobilitas. Hal terpenting adalah untuk memperkuat otot ekstremitas atas yang masih bisa diperbaiki, demikian juga dengan keseimbangan dan stabilitas tubuh. Karena kelemahan ekstremitas atas lebih parah daripada ekstremitas bawah, maka pasien akan mengalami kesulitan dalam menggunakan alat bantu berjalan yang membutuhkan bantuan tangan..
2. Rehabilitasi kerja (Occupational Therapy)
Karena kelemahan ekstermitas atas lebih dominan pada CCS, perbaikan kemampuan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, memperkuat ekstremitas atas dan perbaikan ROM adalah tujuan utama rehabilitasi kerja. Aplint/bidai seringkali digunakan untuk mempertahankan posisi fungsional tangan dan mencegah kontraktur jari-jari tangan.
3. Terapi bicara
Khususnya diberikan pada pasien yang mengalami disfagia akibat pemakaian alat-alat untuk mempertahankan stabilitas servikal atau akibat fusi spina servikalis anterior. Pasien harus diajarkan cara menelan agar tidak memperparah disfagia dan mencegah aspirasi
4. Penanganan pada Kasus Khusus
1. Autonomic Dysreflexia
- Merupakan kelainan haemoatsasis yang disebabkan kelainan saraf otonom
- Input sensori dari distensi kandung kemih atau stimulus noksius dapat menstimulus aktivitas simpathetik yang sistemik, mengakibatkan vasokonstriksi dan hipertensi
- Penanganan yang tepat terhadap agen-agen noksius pada kulit, kandung kemih maupun saluran cerna dapat mencegah rekurensi. Sumber-sumber nosiseptif harus dicari dan ditangani.
- Jika tidak terjadi perbaikan, lakukan pengobatan untuk menurunkan tekanan darah
- Nifedepine dan Nitrogliserin transdermal adalah obat yang sering digunakan.
2. Neurogenic Bladder
- Pasien yang mengalami gejala CCS akibat injuri akut sering kali mengalami retensi urin sehingga memerlukan pemasangan Kateter Foley untuk drainase
- Jika cairan penderita sudah stabil, kateter dapat dilepas dan dilanjutkan dengan pemberian latihan pengendalian kandung kemih dan jika diperlukan dapat dipasang kateter secara intermiten.
- Fungsi kandung kemih biasanya dapat kembali dalam waktu 6 bulan
- Jika fungsi kandung kemih tidak kembali setelah 6 bulan, ajari pasien untuk memasang kateter sendiri saat rangsangan berkemih datang
3. Spastisitas
- Pada awalnya, pasien akan mengalami penurunan tonus, namun setelah periode spinal syok mereda, pasien justru dapat mengalami spstisitas pada ekstremitas atas maupun bawah
- Perawatan yang tepat dapat meminimalisasi impuls nosiseptif maupun eksteroseptif yang dapat memperparah hipertonia
- Posisi tidur yang benar dan program peregangan dapat menurunkan spastisitas dan mencegah kontraktur
- Dapat dilakukan percobaan pemberian antispasme jika spasme otot sudah mengakibatkan rasa tidak nyaman pada pasien
- Obat pilihan pertama yang diberikan adalah Lioresal
4. Nyeri Neuropati
- Pasien dengan CCS dapat mengalami allidynia di bawah level injuri
- Penanganan pertama adalah dengan mengevaluasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus seperti infeksi atau pressure ulcer
- Dapat ditambahkan pemberian obat antikonvulsi
5. Pressure Ulcer
- Penurunan fungsi sensoris dapat mengakibatkan pembentukan pressure ulcer karena tekanan-tekanan pada kulit tidak disadari oleh penderita
- Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan meminimalisasi penekanan pada kulit pasien, misalnya dengan menggunakan kasur khusus atau melapisi kusi roda dengan bantal di daerah-daerah penonjolan tulang
- Perubahan posisi secara teratur dapat menurunkan tekanan kontinyu pada bagian-bagian tertentu
- Penanganan pertama adalah dengan menghilangkan semua sumber penekanan. Jika ulkus semakin parah, konsulkan ke bagian bedah plastik jika diperlukan
6. Neurogenic Bowel
- Akibat penurunan kemampuan kontrol untuk BAB, berikan latihan pengontrolan BAB secara teratur, termasuk pemberian cairan dan serat yang cukup untuk menghindari konstipasi atau inkontinensia
- Lakukan evakuasi feses misalnya dengan stimulasi melalui colok dubur atau metode lain
5. Follow Up
- Masukkan pasien ke ICU bedah saraf untuk monitor status neurologis
- Monitor tekanan darah sangat penting karena pasien biasanya dibuat hipertensi ringan untuk meningkatkan aliran darah ke medula spinalis dalam 12-24 jam pertama
- Berikan profilaksis untuk deep vein thrombosis (DVT) dengan low molecular weight heparin
- TPN biasanya diperlukan karena terjadi gangguan peristaltik usus
- Pasang kateter Foley jika terjadi retensi urin
- Berikan perhatian khusus pada perawatan kulit
2.2.6 Komplikasi
- Nyeri/hyperpathia
- Retensi urin
- Spastisitas pada ekstremitas atas maupun bawah
2.2.7 Prognosis
- Pasien CCS yang berusia <50 tahun biasanya memiliki prognosis yang baik. Dalam waktu singkat 97% pasien mengalami kesembuhan, memperoleh kembali kemampuan mobilisasi dan dapat melakukan kegiatan harian dengan normal.
- Pasien CCS yang berusia >50 tahun memiliki prognosis yang jauh lebih buruk dimana hanya 17% pasien yang mengalami kesembuhan
- Jika penyebab CCS adalah edema, gejala dapat membaik dalam waktu singkat. Fungsi kaki biasanya akan kembali lebih dulu. Gerakan lengan bawah dan jari tangan biasanya memerlukan waktu yang paling lama untuk kembali normal
- Jika lesi disebabkan oleh perdarahan atau ischemia, maka prognosis biasanya lebih buruk dan penyembuhan spontan sulit terjadi.
- Faktor yang mempengaruhi prognosis antara lain:
- Tingkat keparahan kelemahan pada ekstremitas atas
- Kembalinya fungsi motorik dalam waki singkat
- Peningkatan yang signifikan pada kekuatan ekstremitas atas maupun bawah pada tahap awal rehabilitasi
- Usia yang lebih muda
- Tidak adanya kelainan neurologis pada ekstremitas bawah
DAFTAR PUSTAKA
“Anatomy 101: Spinal Cord and Central Nervous System”, (April 2006), Available at: http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd">, Accessed: 2007, November 15th.
“Central Cord Syndrome”, (last updated: November, 2006), Available at: http://www.neurosurgerytoday.org/default.htm, Accessed: 2007, November 15th.
“Central Cord Syndrome”, (last updated: 2005, november 15th), Available at: http://www.emedicine.com/pmr/topic22.htm, Accessed: 2007, November 15th
“Central Cord Syndrome”, (last updated: October, 2006), Available at: http://www.wheelessonline.com/images/wheeless-v2.css.htm, Accessed: 2007, November 15th.
“Cervical Spinal Cord Syndrome in Hyper-extension Injuries of the Cervical Spine”, (2007, November 5th), Available at: http://www.jbjs.org, Acessed: 2007, November 6th.
“Chronic Neurological Sequelae Of Acute Trauma To The Spine And Spinal Cord: The Syndrome Of Acute Central Cervical-Cord Injury (Or Compression) Syndrome”, (November 2007), Available at: http://www.jbjs.org, Accessed: 2007, November 6th.
“Spinal Cord Anatomy”, (2003), Available at: http://www.apparelyzed.com, Accessed: 2007, November 15th.
“Spinal Cord, Topographical and Functional Anatomy”, (Last updated: 2007, January 11th), Available at: http://www.emedicinehealth.com /articles/8806-6.htm, Accessed: 2007, November 15th.
“Spinal Cord Trauma and Related Diseases”, (last updated: 2007, January 11st), Available at: http://www.medscape.com/adservice, (Accessed: 2007, November 13rd)
“The Long Term Outcome after Central Cord Syndrome”, (2007, November 5th), Available at: http://www.jbjs.org, Acessed : 2007, November 6t
KEHAMILAN EKTOPIK (KET)
DEFENISI
Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari bahasa Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan “berada di luar tempat yang semestinya”. Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan ektopik terganggu.
INSIDEN
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20 – 40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Namun, frekuensi kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar ditentukan. Gejala kehamilan ektopik terganggu yang dini tidak selalu jelas.
ETIOLOGI
Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur dari indung telur (ovarium) ke rahim (uterus). Dari beberapa studi faktor resiko yang diperkirakan sebagai penyebabnya adalah (3,4,6):
- Infeksi saluran telur (salpingitis), dapat menimbulkan gangguan pada motilitas saluran telur.
- Riwayat operasi tuba.
- Cacat bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang.
- Kehamilan ektopik sebelumnya.
- Aborsi tuba dan pemakaian IUD.
- Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom.
- Bekas radang pada tuba; disini radang menyebabkan perubahan-perubahan pada endosalping, sehingga walaupun fertilisasi dapat terjadi, gerakan ovum ke uterus terlambat.
- Operasi plastik pada tuba.
- Abortus buatan.
PATOFISIOLOGI
Prinsip patofisiologi yakni terdapat gangguan mekanik terhadap ovum yang telah dibuahi dalam perjalanannya menuju kavum uteri. Pada suatu saat kebutuhan embrio dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba itu. Ada beberapa kemungkinan akibat dari hal ini yaitu :
- Kemungkinan “tubal abortion”, lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke ujung distal (fimbria) dan ke rongga abdomen. Abortus tuba biasanya terjadi pada kehamilan ampulla, darah yang keluar dan kemudian masuk ke rongga peritoneum biasanya tidak begitu banyak karena dibatasi oleh tekanan dari dinding tuba.
- Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat dari distensi berlebihan tuba.
- Faktor abortus ke dalam lumen tuba. Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit hingga banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian.
MANIFESTASI KLINIK
Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda; dari perdarahan yang banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosanya. Gejala dan tanda tergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil. Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik terganggu.
Hal ini menunjukkan kematian janin. Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut sampai gejala-gejala yang samar-samar sehingga sulit untuk membuat diagnosanya.
DIAGNOSIS
Walaupun diagnosanya agak sulit dilakukan, namun beberapa cara ditegakkan, antara lain dengan melihat (5,6,8):
- Anamnesis dan gejala klinis
Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada atau tidak ada perdarahan per vaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah. Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul dalam peritoneum.
- Pemeriksaan fisis
a) Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa.
b) Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen.
c) Pemeriksaan ginekologis
3. Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan kiri.
- Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.
b) b) USG : - Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri
- Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri
- Adanya massa komplek di rongga panggul
- Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada darah.
- Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.
- Ultrasonografi berguna pada 5 – 10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus.
PENANGANAN
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Pada laparotomi perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan menjepit bagian dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga perut sebanyak mungkin dikeluarkan. Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu: kondisi penderita pada saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik. Hasil ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi (pemotongan bagian tuba yang terganggu) pada kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan terhadap kadar HCG (kuantitatif). Peninggian kadar HCG yang berlangsung terus menandakan masih adanya jaringan ektopik yang belum terangkat.
Penanganan pada kehamilan ektopik dapat pula dengan transfusi, infus, oksigen, atau kalau dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika dan antiinflamasi. Sisa-sisa darah dikeluarkan dan dibersihkan sedapat mungkin supaya penyembuhan lebih cepat dan harus dirawat inap di rumah sakit.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
- Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi operasi.
- Infeksi
- Sterilitas
- Pecahnya tuba falopii
- Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya embrio
PROGNOSIS
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dengan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk., (1971) melaporkan 1 kematian dari 826 kasus, dan Willson dkk (1971) 1 diantara 591 kasus. Tetapi bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus. Penderita mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 – 14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan adalah sekitar 50% (1,2,7).
DIAGNOSA BANDING
Diagnosa bandingnya adalah :
- Infeksi pelvic
- Kista folikel
- Abortus biasa
- Radang panggul,
- Torsi kita ovarium,
- Endometriosis
DAFTAR PUSTAKA
- Prof. dr. Hanifa W, dkk., IlmuKebidanan, Edisi kedua, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1992, Hal. 323-334.
- www.medica store.com/kehamilan ektopik,kehamilan luar kandungan/page:1-4
- Prof. dr. Hanifa W. DSOG, dkk, Ilmu Kandungan,Edisi kedua, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1999, Hal 250-255.
- www.medica store.com/kehamilan ektopik/page:1-4
- Anthonius Budi. M, Kehamilan Ektopik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
- Arif M. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2001. Hal. 267-271.
- Prof. Dr. Rustam. M, MPH, Sinopsis Obstetri, Jilid 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal.226-235.
- Dr. I. M. S. Murah Manoe, SpOG, dkk, Pedoman Diagnosa Dan Terapi Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, 1999. Hal. 104-105.
.
Langganan:
Postingan (Atom)